Indonesia.go.id - Sangiran dan Manusia Jawa

Sangiran dan Manusia Jawa

  • Administrator
  • Sabtu, 20 April 2019 | 16:20 WIB
PUSAKA DUNIA
  Evolusi Manusia. Sumber foto: Istimewa

Terinspirasi oleh hipotesa Alfred Russel Wallace, Dubois meyakini asal usul manusia modern terletak di Asia Tenggara, dan mengukuhkan hipotesa itu melalui fosil temuannya di Trinil.

Ahli paleoantropologi di dunia tentu tak akan ragu sedikitpun, ketika menyimpulkan Pulau Jawa ialah salah satu tempat tinggal bagi spesies manusia yang paling awal di dunia. Konon, lebih dari satu juta tahun yang lampau, bisa dipastikan di pulau ini pernah hidup manusia purba.

Sebaran penemuan fosil hominid (manusia purba) tercatat cukup banyak. Di sepanjang Sungai Bengawan Solo berikut anak sungainya, dari daerah Sangiran di Jawa Tengah hingga beberapa daerah di Jawa Timur, boleh dikata bagaikan “tambang” bagi penemuan fosil.

Ngandong, Sangiran, Sambungmacan, Trinil, ialah contoh-contoh situs ditemukannya fosil hominid. Di antara situs-situs artefak purbakala di Indonesia, nama Sangiran barangkali paling sohor.

Ini karena di sana bisa ditemukan jejak peninggalan kala Pleistosen yang paling lengkap dan utuh. Di sini para ahli paleoantropologi bisa dipastikan bakal lebih mudah merangkai sebuah benang merah sejarah manusia purba secara berurutan. Tak aneh jikalau sejak 1996, Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia.

Terletak lima belas kilometer di sebelah utara kota Surakarta, kemasyhuran Sangiran sebenarnya telah bergema dan terekam dalam jurnal-jurnal ilmiah masyarakat dunia sejak akhir abad ke-19. Laporan penemuan fosil pertama dari Sangiran muncul di tahun 1864. PEC Schmulling menemukan fosil vertebrata. Tak kecuali Eugene Dubois, juga sempat tercatat melakukan eksplorasi di Sangiran pada 1893.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1555777367_Eugene_Dubois.jpg" />

Eugene Dubois. Sumber: Wikipedia

Di tahun 1932 pemetaan geologi di kawasan Sangiran juga telah dilakukan oleh LJC van Es. Menindaklanjuti pemetaan itu, dua tahun kemudian GHR von Koenigswald juga melakukan eksplorasi di sana. Koeningswald berhasil menemukan fosil hominid pada kisaran 1936. Dan hingga tahun 1941, dia terlihat semakin intensif melakukan eksplorasi. Dari Sangiran pulalah sejumlah fosil Homo erectus semakin banyak ditemukan.

Bicara popularitas Sangiran memang lebih lekat dengan nama Koeningswald daripada Dubois. Ya, Dubois sendiri menemukan fosil hominid di Trinil, Ngawi, pada kisaran 1891-1892. Namun demikian momen penemuan Dubois, bagaimanapun ialah merupakan tonggak sejarah penting bagi dunia paleoantropologi dan bagi Indonesia.

Artikel berjudul “Hurrah for the Missing Link!: a History of Apes, Ancestors and a Crucial Piece of Evidence” karya Peter C Kjaergaard (2011) mencatat, bukan saja temuan fosil hominid di Trinil menggemparkan dunia, itu juga menyulut kontroversi terkait hipotesa Dubois. Terinspirasi oleh hipotesa Alfred Russel Wallace, Dubois meyakini asal-usul manusia modern terletak di Asia Tenggara, dan mengukuhkan hipotesa itu melalui fosil temuannya di Trinil.

Menariknya, di tahun 1898 hipotesa Dubois kemudian diangkat menjadi materi diskusi dalam kongres internasional zoologi keempat di Universitas Cambridge, Inggris. Saat itu, banyak orang setuju dan tiba pada kesimpulan yang sama. Menariknya lagi, sepanjang 1895-1900 tercatat 80 buah publikasi ilmiah telah ditulis orang untuk membahas fosil temuan Dubois dan tafsirannya sebagai isu utama.

Walhasil, bicara kontroversi hipotesa Dubois tentu saja juga berdampak pada terjadinya gelombang pasang popularitas Jawa (Hindia Belanda).

Missing Link Theory

Seperti diketahui, Charles Darwin  (1809-1882) menulis buku berjudul The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man (1871). Melalui karya itu ia memaparkan teori evolusi. Menurutnya, semua jenis makhluk hidup yang ada sekarang, termasuk manusia, berasal dari satu jenis makhluk bersel satu. Melalui mekanisme seleksi alam, lambat laun berkembanglah beraneka ragam jenis makhluk hidup.

Binatang paling maju ialah sejenis kera. Mengalami proses survival of the fittest, sedikit demi sedikit mengalami perubahan dan loncatan kemajuan. Perubahan secara gradual ini pada akhirnya mencapai fase kesempurnaannya dan muncullah spesies Homo sapiens atau manusia modern.

Sayangnya, Darwin ketika itu belum menemukan bukti teoritisnya. Saat itu belum ditemukan fosil hominid yang menunjukkan evolusi ke arah spesies Homo sapiens. Kelemahan mendasar teori evolusi ialah adanya mata rantai yang hilang (missing link), antara fase sejenis binatang menyerupai kera dan sekaligus menyerupai manusia menuju fase Homo sapiens.

Ernst Haeckel (1834 – 1919), ilmuwan Jerman terkemuka dan pengikut Darwinian menulis Naturliche schopfungsgeschichte (1889). Meskipun saat itu ilmu paleoantropologi sebenarnya masih kurang bukti, Haeckel mencoba membangun pohon geneologi spesies manusia. Menurut Haeckel ada 22 tahapan, dari fase organisme yang masih sangat primitif hingga manusia modern.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1555777549_Von_Koenigswald.jpg" />G.H.R. von Koenigswald sedang melakukan pengukuran terhadap tengkorak yang ditemukannya di Jawa. Sumber foto: koleksi Tropenmuseum, Amsterdam.

Seturut Haeckel, asal usul tahap manusia didasarkan pada pemerolehan kemampuan untuk berdiri tegak dan berbicara. Juga disandarkan pada asumsi meningkatnya kapasitas volume otak. Lebih jauh, Haeckel mengemukakan hipotesa, jika benar manusia berevolusi dari sejenis binatang menyerupai kera, maka pasti pernah ada suatu fase manusia yang mirip kera atau kera yang mirip manusia.

Pada titik inilah berbekal fosil temuannya dari Jawa, Eugene Dubois menerbitkan monografi pertamanya yang sangat terkenal. Berjudul Pithecanthropus erectus. Eine menschenaehnliche Uebergangsform aus Java, Dubois mendalilkan fosil temuannya ialah jawaban atas problem ‘the missing link’ tersebut.

Dinamainya Pithecanthropus erectus atau “manusia kera berjalan tegak”, Dubois mengklaim fosil ini ialah fosil yang selama ini dicari-cari oleh banyak ilmuwan, dan sekaligus jadi jawaban problem ‘missing link’ dari teori evolusi Darwin. Fosil yang sering disebut “Manusia Jawa” ini diklaim sebagai tahap perantara (intermediary stage), yang menghubungkan mata rantai evolusi antara spesies kera ke spesies manusia.

Implikasinya, sejak itulah nama Jawa-Indonesia kemudian termahsyur di dunia paleoantropologi dan sekaligus menjadi ladang perburuan fosil hominid.

Homo Erectus

Setelah penemuan Dubois, pada 1907-1908 sebuah ekspedisi besar-besaran dipimpin oleh E Selenka berlangsung di lokasi yang sama, Trinil. Walaupun banyak sekali menemukan fosil vertebrata, dia gagal menemukan fosil hominid.

Pada 1931, peneliti Jerman, Koenigswald, tiba di Hindia Belanda dan langsung melakukan penelitian lapangan. Antara 1932-1933 dia melakukan penggalian untuk penyelidikan paleoantropologi di daerah Ngandong, Blora, Jawa Tengah, dan menemukan fosil hominid yang diberi nama Homo erectus soloensis.

Antara 1934-1941, penelitian selanjutnya Koeningswald dilakukan di Sangiran, Jawa Tengah. Di sana dia menemukan fosil hominid dalam jumlah cukup besar dan bervariasi. Ada puluhan fosil. Dari gigi rahang milik spesies Homo modjokertensis, tengkorak spesies Pithecanthropus erectus, hingga rahang atas dan bawah milik spesies Meganthropus palaeojavanicus.

Menurut Tobias (1984), fosil-fosil penemuan Koeningswald kini tersimpan di Museum Senckenberg, Jerman, kecuali fosil tengkorak Ngandong dan fosil anak kecil dari Mojokerto dikembalikan ke Indonesia. Publikasi ilmiah Koeningswald berjumlah lebih 300 judul, sebagian besar di antaranya membahas tentang hasil penemuannya di Jawa.

Pada 1920-an, sebuah tengkorak ditemukan di dekat Peking (sekarang Beijing), Tiongkok. Fosil hominid ini populer disebut “Manusia Peking”. Selain memperlihatkan banyak persamaan ciri dengan fosil Manusia Jawa, fosil ini usianya juga lebih tua. Namun hingga Dubois meninggal di 1940, ia masih bersikukuh pada hipotesanya dan menolak kesimpulan yang ditarik dari temuan fosil hominid China.

Tak kecuali juga temuan fosil hominid di Afrika Timur (Kenya, Etiopia, Tanzania), Afrika Utara (Aljazair dan Maroko), dan Afrika Selatan, pun memiliki banyak persamaan ciri dengan Manusia Jawa. Pada 1976 sebuah tengkorak Homo erectus lengkap ditemukan di Afrika Timur. Umurnya 1,5 juta tahun, satu juta tahun lebih tua dari yang ditemukan di Jawa dan Peking.

Artinya, sekalipun fosil hominid Dubois ialah fosil Homo erectus yang pertama ditemukan di dunia, secara usia fosil ini jauh lebih muda dibandingkan temuan fosil di China maupun di Afrika.

Walhasil, bukan saja akhirnya pada 1950 klasifikasi dan taksonomi Pithecanthropus erectus diubah dan diseragamkan jadi Homo erectus, lebih jauh bicara paradigma asal usul manusia modern juga bergeser dari Asia ke Afrika. “Out of Afrika”, demikianlah kesimpulan sementara perihal asal usul Homo erectus dan Homo sapiens. Sebuah interpretasi ilmiah berbasis validasi temuan fosil ini sejalan dengan asumsi yang pernah diandaikan oleh Charles Darwin.

Nusantara Pusat Pembauran

Hampir selama empat dekade terakhir, bicara asal usul Homo sapiens atau manusia modern seolah terang benderang. Tapi kini, sejalan dengan capaian kemajuan ilmu genetika untuk melacak DNA manusia, riwayat Homo sapiens tampaknya jauh lebih kompleks dan rumit.

Asumsi paradigmatik tentang alur evolusi manusia modern secara linier—yaitu dari spesies Homo ergaster menurunkan Homo erectus, Homo erectus menurunkan Neandertal, dan dari Neadertal bermuara menjadi Homo sapiens—mungkin kini harus ditinjau ulang. Model linier memberi kesan, pada satu kurun waktu tertentu hanya ada satu tipe manusia (homo) yang menghuni bumi.

Padahal, faktanya dari sekitar 2 juta tahun hingga 10 ribu tahun lalu, dunia sebenarnya menjadi hunian bagi beberapa spesies manusia (homo) pada waktu yang bersamaan. Bukti-bukti baru paling menggelitik berasal dari analisis atas sampel-sampel DNA kuno.

Penelitian menunjukkan, telah terjadi interaksi antara Homo sapiens—yaitu manusia modern seperti Anda dan saya dan manusia “lama” seperti Neanderthal, Denisovan, Homo erectus, Homo florensiensis yang notabene sekarang semuanya telah punah, ternyata bukan sekadar soal pergantian sederhana.

Kini semua tahu, sebenarnya banyak ditemukan kelompok spesies manusia purba hidup dalam periode waktu bersamaan, sebelum kelompok Homo sapiens jadi satu-satunya spesies manusia yang mengisi bumi seperti hari ini.

Apa yang sebenarnya terjadi tampaknya kelompok manusia modern dan kelompok manusia lama saling membaur, kawin-mawin sekerabat, juga berperang, dan berinteraksi dengan banyak sekali cara yang hingga kini masih menyimpan banyak enigma.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1555777777_Lukisan_gua_di_Sulawesi.jpg" />Lukisan gua di Sulawesi ini dinobatkan sebagai yang paling tua di dunia. Sumber: Maxime Aubert, Griffith University / National Geographic.

Indonesia, tak terkecuali, juga masih menyimpan banyak teka-teki. Sebagai lapangan riset ilmu paleoantropologi tampaknya masih jauh dari kata selesai. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian dari lapangan Indonesia kembali menggeliat dan menghasilkan beberapa penemuan yang mencengangkan.

Di antaranya ialah temuan fosil Homo floresiensis di Flores; penemuan fosil kulit kerang di Trinil, Jawa Timur, yang memperlihatkan daya kreativitas Homo erectus; dan paling menarik ialah penemuan lukisan gua di Maros, Sulawesi Selatan, sebagai satu jejak seni Homo sapiens tertua di dunia.

Tapi, tak hanya itu. Penelitian yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dengan dan beberapa peneliti sejumlah negara menemukan fakta yang tak kalah mencengangkan. Dari riset pemetaan genetika yang mereka lakukan baru-baru ini, terungkap pembauran leluhur manusia modern (Homo sapiens) dan manusia purba lainnya paling intensif terjadi di Papua.

Nenek moyang leluhur orang Papua ialah kelompok migran pertama Homo sapiens yang keluar dari Afrika dan tiba di kawasan ini sejak 70 ribu tahun lalu. Sebelum kedatangan Homo sapiens ke Papua, kawasan ini telah dihuni oleh manusia purba Denisovan. Jejak ini terlihat pada DNA orang Papua kini, yang memiliki gen Denisovan berkisar 3 – 5 persen.

Riset Eijkman menyimpulkan, pusat keanekaragaman kuno bukan berada di Eropa atau di Asia utara yang beku, melainkan justru terjadi di kepulauan tropis yang hangat di Asia Tenggara. (W-1)